Latest Post

Sunday, 7 September 2014

Catatan si Langit : BAB I | Titik Awal Mula (1)

Bermula sekitar pada tahun 2000 an. Langit. Begitulah orang-orang memanggilku. Anak pertama dari keluarga sederhana yang tinggal di desa Buluh Dori bagian pesisir Aceh yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Utara. Walaupun kami hidup berada dibagian wilayah Aceh, namun kami dalam keseharian sehari-hari tidak pernah menggunakan bahasa Aceh seperti hal pada umumnya orang Aceh yang berada dipusat Aceh[1]. Karena memang pada umumnya masyarakat setempat memiliki bahasa sendiri[2]. Meskipun ada kesamaan kultur pengucapan dengan bahasa yang berada di bagian Sumatera Utara namun ada ciri khas tersendiri dalam fokus pengucapan gaya bahasa yang digunakan.

Pagi itu, waktu aku masih kecil, aku begitu semangat sekali untuk bangun pagi. Hari itu adalah hari yang sangat spesial bagiku. Ketika hari itu adalah hari pertama masuk SD[3]. Ayah mengantarkanku ke sekolah dengan mengenggam tanganku seolah menaruh pesan dan harapan belajarlah dengan sungguh-sungguh dan jadilah anak yang baik.

Sampainya disekolah, dimulut pintu kantor kepala sekolah terlihat berdiri seorang guru seperti penyambut siswa-siswi baru sekolah dengan senyum menyapa dicekung pipinya. Seorang bapak tua yang berwajah sabar yang terlihat dari raut wajahnya. Pak Bahar namanya, seorang guru yang paling disenangi oleh siswa-siswi sekolah ini karena humorisnya. Seperti Ayahku, mereka berdua saling berbalas senyum dan menyerahkanku ke pak Bahar dan mengantarkanku ke kelas.

Aku pun masuk ke kelas dan duduk di kursi panjang yang paling depan di kelas. Kursi itu seolah sudah lapuk terlihat dari hamparan seperti debu yang dihasilkan dari rayap yang ada dibagian kursi bahkan hampir setiap kursi dan meja-meja yang ada dikelas. Suasana yang begitu sederhana dengan keadaan cahaya matahari yang masuk ke ruang kelas dari celah atap yang berlubang. Disuguhkan dengan papan tulis yang agak miring kekanan karena paku penahan papan tulis sebelah kiri yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban dari papan tulis yang berada didepan kami. Ditambah lagi dengan jam dinding dibelakang kami yang tak berfungsi lagi dengan jaring laba-laba menyelimuti. Namun Hari ini begitu spesial. dimana hari pertama sekolah yang menyenangkan bertemu dengan banyak teman.

Hari pertama. Kami begitu senang dengan hari pertama kami sekolah. Ada yang mengekspresikan kesenangannya dengan mencoret-coret dinding sekolah, ada yang bernyanyi bersuka ria, dan ada juga yang merobek-robek kertas dan menghamburkannya keatas. Seolah-olah ia berada dibawa rintikan hujan dengan bekas robekan kertas yang dihamburkan keatas dan menunggunya berjatuhan hingga hinggap kemuka terlihat sambil tersenyum lebar menunggu robekan kertas berjatuhan.

“Tak tok... tak tok... tak tok...”

Seperti suara sepatu kuda terdengar dari arah mulut pintu kelas yang semakin dekat dan semakin jelas.

“Assalamu’alakum...” Ucap bu Nur dari arah pintu masuk kelas.

“Wa’alaikumsalam bu....” Ucap kami serentak semangat dengan senyuman terbaik kami kala itu kearah bu Nur.

Ya ibu Nur. Ibu itu bernama Nur Muslimah. Bu Nur. Begitulah kami memanggilnya. Hari pertama sekolah ibu Nur memperkenalkan diri kepada kami semua mulai dari tempat lahir, keluarga, asal usul hingga arti dan makna dari nama Ibu Nur Muslimah. Nur yang artinya cahaya dan Muslimah adalah seorang wanita saleha. Kedua orangtua Bu Nur memberi nama Nur Muslimah dengan Harapan agar kelak menjadi wanita saleha. Sedangkan arti cahaya itu sendiri memberi arti harapan kedua orangtua Bu Nur kelak agar Ibu Nur Muslimah menjadi panutan tauladan untuk wanita lain. Begitulah penjelasan singkat dari Bu Nur mengenai namanya.

“Baiklah anak-anak, hari ini kita memulai kelas dengan perkenalan terlebih dahulu dan sebutkan cita-cita apa kelak yang kalian inginkan. Ayo... siapa yang mau duluan memperkenalkan diri...???” Ungkap Bu Nur.

“Saya bu, saya....!!!” Jawab lantang Adit. Yang sebelumnya dengan tingkah reaktif dengan robekan kertas yang dihamburkan. Adit memang anak yang terkenal dengan sifat pemberani. Walaupun ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia katakan. Namun, aku cukup iri dengannya yang tidak memiliki rasa takut sedikitpun. Adit pun berdiri dan maju kedepan kelas memperkenalkan diri.

“Namaku Adit...., Cita-citaku ingin menjadi seorang pilot..” .Ungkap Adit dan kembali ke kursi dengan gaya berjalan seolah-olah seperti seorang pilot yang sedang mengendalikan sebuah pesawat terbang dan duduk kembali.

Satu persatu teman-teman yang lain maju kedepan memperkenalkan diri. Hingga tibalah waktu giliranku memperkenalkan diri. Walaupun sebenarnya aku duduk dikursi yang paling depan, namun giliran yang terakhir memperkenalkan diri adalah aku. Karena memang aku begitu takut sekali untuk maju kedepan kelas. Rasa-rasanya seperti berada diatas jembatan yang tinggi dan melihat kearah bawah yang membuat tubuh menggigil ketakutan menunggu keringat dingin yang akan bercucuran dari tubuh. Bu Nur memanggil namaku dan memintaku untuk maju kedepan untuk memperkenalkan diri sama hal dengan teman-teman sebelumnya. Akhirnya aku memberanikan diri dan maju kedepan.

“Namaku Langit..., Sedangkan untuk cita-cita.... aku..., aku enggak tau cita-citaku apa, yang penting jadi orang baik bisa membuat senang Ayah dan Ibu....”

“Subhanallah....” Tanggap Bu Nur.

“Hatimu mulia sekali nak, tapi itu bukan cita-cita. Itu lebih kepada harapan keinginan untuk orang tua, setiap anak pasti ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Ayo coba dipikir dulu mau jadi apa, contohnya Adit yang ingin menjadi seorang pilot. Emi ingin menjadi seorang dokter. Terus Langit mau jadi apa??? Ayo coba dulu....” Saran Bu Nur.

[1] Pusat Aceh : Seperti Kota Banda Aceh dulunya Kutaraja (Pemerintahan Aceh), Sigli, Bireun dan sekitarnya semenanjung barat.

[2] Bahasa Boang : Serumpun dengan bahasa pakpak, batak

[3] SD : SDN KM 11 (Sekarang)

Bersambung...

No comments:

Post a Comment