Dalam hening sekejap, akupun teringat dengan
ungkapan Ibu dikala itu, Ibu memuji seorang anak yang lulusan dari
pesantren modern. Sebuah pondok pesantren modern terpadu yang berada di
Aceh Singkil[1]. dengan tujuan mencetak lulusan-lulusan yang bisa
menjadi seorang da’i, seorang mubaligh yang paham dan mampu menyampaikan
tentang ajaran seputaran agama islam. Pada waktu itu sedang
berlangsungnya acara MTQ (Musabaqah Tilwatul Qur’an) dan lomba pidato.
Dan peserta yang berpartisipasi kala itu diikuti para siswa-siswi dari
Pondok Pesantren Modern Terpadu Tanah Merah.
“Menjadi seorang Ustad bu....” Jawabku hentak.
“Kenapa kamu ingin menjadi seorang Ustad????...” Tanya Bu Nur kembali.
Kemudian kujawab secara spontan ketika itu karena Ibu Langit suka Ustad. Bu Nur pun tersenyum kearahku sambil memegang kepalaku dan mepersilahkan ku kembali duduk. Akhirnya Bu Nur pun memberikan kami suatu nasehat penutup tentang mimpi cita-cita yang baru kami ungkapkan dengan lugunya dan lepas. Karena masih banyak yang tidak begitu mengerti apa makna dari cita-cita itu sendiri. Bu Nur berpesan
“Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Dan raihlah. Bersungguh-sungguhla h.
Apapun cita-cita kalian, yang penting bisa bermanfaat bagi orang
lain.... Bukan merugikan orang lain...” Pesan Bu Nur dengan mimik wajah
terlihat seperti menaruh harapan dan doa untuk murid-muridnya.
“Teng teng teng teng teng...!!!”
“Teng teng teng.... teng teng teng...... teng teng teng....”
Lonceng[2] pun berbunyi mengakhiri kelas hari ini menandakan waktu pulang. Sebagian teman sekelas bersorak ria dan menyambut suara pukulan lonceng itu dengan riangnya. Seakan-akan tanda kebebasan menyambut mereka. Atau karena perut kosong yang ingin segera pulang dan secepatnya untuk diisi karena sudah mersa lapar ingin bergegas pulang kerumah menyegerakan diri untuk makan siang mengatasi perut yang mulai keroncongan.
Tengah hari ini, begitu panas dengan senyum terik matahari yang beringas hingga terasa sampai ke ubun-ubun kepala nan menyilaukan.
Sesampainya dirumah, kumulai melihat sekitar mulut pintu yang menyambutku dengan lubang yang terlihat seperti sarang lebah dikuti alunan decitan irama atap seng rumah yang dimelodikan hembusan angin mesra. Seperti memainkan nada rendah ke nada tinggi dan sebaliknya. Ku ucap salam namun tidak ada yang menjawab. Aku masuk dan menuju kebelakang rumah, dan kulihat Ibu sedang memasak untuk makan siang ini ditemani dengan adik ku yang bungsu bernama Rizal yang masih kecil berusia 4 tahun. Mungkin jarak antara dapur rumah yang agak berjauhan dari pintu masuk sehingga ucap salam yang ku ucapkan tidak kedengaran oleh Ibu tanpa jawaban.
Kami bertiga pun akhirnya makan siang bersama, tanpa Ayah. Ayah mungkin entah lagi dimana. Mungkin saja ia sedang berada diluar sedang bekerja dan makan siang disana ungkapku dalam hati.
Sejenak beristirahat, kemudian aku bersiap-siap kembali berkemas untuk pergi ke TPA (Tempat Pengajian Al-Qur’an)[3]. Waktu pun menunjukkan pukul 14.00 WIB. Dan aku pun bergegas untuk berangkat kembali belajar menuntut ilmu. Rutinitas yang hampir setiap harinya dijalani.
“Menjadi seorang Ustad bu....” Jawabku hentak.
“Kenapa kamu ingin menjadi seorang Ustad????...” Tanya Bu Nur kembali.
Kemudian kujawab secara spontan ketika itu karena Ibu Langit suka Ustad. Bu Nur pun tersenyum kearahku sambil memegang kepalaku dan mepersilahkan ku kembali duduk. Akhirnya Bu Nur pun memberikan kami suatu nasehat penutup tentang mimpi cita-cita yang baru kami ungkapkan dengan lugunya dan lepas. Karena masih banyak yang tidak begitu mengerti apa makna dari cita-cita itu sendiri. Bu Nur berpesan
“Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Dan raihlah. Bersungguh-sungguhla
“Teng teng teng teng teng...!!!”
“Teng teng teng.... teng teng teng...... teng teng teng....”
Lonceng[2] pun berbunyi mengakhiri kelas hari ini menandakan waktu pulang. Sebagian teman sekelas bersorak ria dan menyambut suara pukulan lonceng itu dengan riangnya. Seakan-akan tanda kebebasan menyambut mereka. Atau karena perut kosong yang ingin segera pulang dan secepatnya untuk diisi karena sudah mersa lapar ingin bergegas pulang kerumah menyegerakan diri untuk makan siang mengatasi perut yang mulai keroncongan.
Tengah hari ini, begitu panas dengan senyum terik matahari yang beringas hingga terasa sampai ke ubun-ubun kepala nan menyilaukan.
Sesampainya dirumah, kumulai melihat sekitar mulut pintu yang menyambutku dengan lubang yang terlihat seperti sarang lebah dikuti alunan decitan irama atap seng rumah yang dimelodikan hembusan angin mesra. Seperti memainkan nada rendah ke nada tinggi dan sebaliknya. Ku ucap salam namun tidak ada yang menjawab. Aku masuk dan menuju kebelakang rumah, dan kulihat Ibu sedang memasak untuk makan siang ini ditemani dengan adik ku yang bungsu bernama Rizal yang masih kecil berusia 4 tahun. Mungkin jarak antara dapur rumah yang agak berjauhan dari pintu masuk sehingga ucap salam yang ku ucapkan tidak kedengaran oleh Ibu tanpa jawaban.
Kami bertiga pun akhirnya makan siang bersama, tanpa Ayah. Ayah mungkin entah lagi dimana. Mungkin saja ia sedang berada diluar sedang bekerja dan makan siang disana ungkapku dalam hati.
Sejenak beristirahat, kemudian aku bersiap-siap kembali berkemas untuk pergi ke TPA (Tempat Pengajian Al-Qur’an)[3]. Waktu pun menunjukkan pukul 14.00 WIB. Dan aku pun bergegas untuk berangkat kembali belajar menuntut ilmu. Rutinitas yang hampir setiap harinya dijalani.
[1] Aceh Singkil : Kabupaten paling ujung Aceh
[2] Lonceng : Lonceng yang terbuat dari bekas lingkaran mobil Diesel
[3] TPA : Jln Syekh Hamzah Fansyuri (Menuju Rundeng)
No comments:
Post a Comment