Latest Post

Tuesday 10 March 2015

Sosiologi Agama : Teori-teori Agama

E.B Taylor ( Lahir: London, 1832)
1. Aspek – aspek Kebudayaan Manusia
E.B Taylor merupakan salah satu teoritikus yang mengetengahkan trend baru dalam penelitiannya, ia lebih menekankan pada “etnografi” dan “etnologi”, yakni menulis serta melihat keadaan masyarakat secara langsung untuk mengetahui segala kompleksitas yang ada di dalamnya. Salah satu karya terbesar Taylor ada pada bukunya yang berjudul Primitive Culture yang di publikasikan kepada masyarakat Inggris Victorian di saat kaum agamawan mengalami tantangan-tantangan yang merusak keyakinan mereka. Dalam buku tersebut Taylor mengemukakan secara eksplisit keberadaan agama, serta budaya masyarakat primitive yang selalu menggelitik keingintahuannya. Terlepas dari pandangannya tentang agama, alangkah baiknya menyimak asumsinya terkait dengan kebudayaan manusia yang memiliki keutuhan serta integritas yang kuat. Dalam “etnologinya” ia berpendapat bahwa semua bentuk masyarakat dan kebudayaan yang terorganisir harus dilihat sebagai satu keseluruhan – sebagai suatu system yang kompleks membentuk pengetahuan dan keyakinan, seni dan moral, perkakas dan teknologi, bahasa, hukum, adat istiadat, legenda, mitos dan seluruh komponen lainnya yang membentuk kesatuan yang utuh. Lebih jauh lagi etnologi mencoba menjadi kunci wasiat untuk membuka dan menemukan pola-pola hukum pasti dari kebudayaan manusia, sebagaimana kepastian yang terdapat dalam hukum-hukum gerak ombak, pertumbuhan tanaman dan binatang.
Taylor meyakini apabila usaha ilmu ini dilakukan secara tepat, dan jika setiap periode peradaban manusia diamati secara seksama, maka dua hukum besar tentang budaya akan muncul kepermukaan yaitu: (1) Prinsip kesatuan dan keseragaman fisik seluruh ras manusia, dan (2) pola evolusi intelektual dan perkembangannya sesuai dengan waktu tertentu. Dengan asumsi keseragaman fisik manusia, Taylor mengemukakan bahwa apapun yang dilakukan dan dikatakan manusia pada waktu dan tempat yang berbeda di seluruh dunia dapat dikatakan mirip satu sama yang lainnya. Dengan kata lain, kemiripan-kemiripan itu bukanlah sesuatu yang kebetulan, tapi memperlihatkan keseragaman fundamental pemikiran manusia. Seterusnya Taylor dan pengikutnya membuka kesepakatan bahwa semua manusia memiliki esensi yang sama, khususnya kapasitas mental mereka. Kebiasaan-kebiasaan yang sering ditemukan dalam penelitiannya ialah kebiasaan manusia yang melantunkan doa untuk roh atau setan, ini dijadikan sebagai kebiasaan yang serius dan kebudayaan yang paling kekal, padahal semua fenomena sejarah tersebut hanyalah takhayul belaka yang nantinya akan berevolusi seiring dengan kemajuan intelektual. Menurut Taylor, jika prinsip evolusi memperlihatkan bagaimana proses kelangsungan hidup masyarakat tersebut, maka prinsip ini akan menjadi jodoh dan prinsip keseragaman yang memungkinkan kita memahami dan menjelaskannya. Seterusnya, hubungan antara basis – rasional pemikiran dengan evolusi social dapat dilihat dalam setiap aspek kebudayaan manusia, asal kita mau meluangkan waktu untuk memahami secara dekat.

2. Asal – usul Agama
Uraian Taylor tentang mitos-mitos sangat penting karena hal itu merupakan benang merah yang membentangkan jalan yang harus ditempuh dalam menyelidiki asal usul agama. Bagi Taylor Agama merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual, definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan sendiri, karena sederhana, eksplisit, dan memiliki cakupan yang luas. Walaupun kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun salah satu karakteristik yang dimiliki setiap agama adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berprilaku dan berperasaan seperti manusia. Esensi setiap agama,, seperti halnya mitologi adalah animisme (berasal dari bahasa latin anima yang berarti roh). Animisme adalah bentuk pemikiran manusia yang paling tua, yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah manusia. Namun, menurut Taylor kepercayaan seperti ini tidak bisa diterima, karena hal tersebut hanyalah bersifat pribadi dan tidak bisa dibuktikan secara alamiah. Menurutnya penalaran masyarakat primitif yang mengadopsi kepercayaan ini masih infantilitas (kanak-kanak) kemudian menemukan bentuk kepercayaan religiusnya yang pertama. Seperti mitos-mitos mereka, pengajaran agama muncul dari usaha yang rasional untuk menjelaskan cara kerja alam. Dan dari perspektif ini semua sudah jelas, bahwa sebagai mana roh menggerakkan seorang manusia, maka spirit pun telah menggerakkan alam semesta.

Taylor beragumen bahwa arti penting teori animistik ini ketika menjelaskan masyarakat primitif akan terlihat dari varian-varian kepercayaan dan adat istiadat purba yang bisa dijelaskannya. Dalam terminologi animistik, semua ajaran ini bisa dipahami sebagai proses berlanjutnya kehidupan jiwa sesudah kematian. Namun, setelah melakukan penelitian lebih lanjut Taylor berpesan, kepercayaan anismitik ini nanti akan megalami stagnasi, karena bagaimanapun juga teori-teori tentang animistik akan disingkirkan dalam kehidupan sehari-hari oleh perkembangan intelektual. Karena animism hanyalah usaha masyarakat kuno untuk memahami dan merespon misteri dan peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan dengan sains pada zaman sekarang. Dia menambahkan walaupun agama sama kunonya dengan sains, namun agama lebih primitif dan kemampuannya memberikan penjelasan kalah jauh dibandingkan sains. Bagi Taylor, kepercayaan terhadap kekuatan spiritual meprensentasikan satu tahapan alami dalam evolusi pemikiran manusia, namun bukanlah tahapan akhir, karena masih ada tahapan lain yang lebih rasional dalam merespon alam, yaitu program dan metode ilmu-ilmu empiris yang mulai muncul saat ini.
Frazer (Lahir:Skotlandia, 1854)
1. Magis dan Agama
Frazer dan Taylor memiliki pernyataan yang mirip ketika mengungkap keberadaan agama. Taylor berangkat dari kepercayaan animisme, sedangkan Frazer lebih mengetengahkan teorinya tentang suatu yang magis. Menurutnya jika ingin melihat tindak-tanduk keberadaan agama mesti mencari dan mengumpulkan cerita rakyat, legenda, dan kebiasaan kebiasaan masyarakat primitif, dimana saja yang kita tahu, untuk melihat ada apa di dalamnya bisa dilihat dari pola-pola tradisi lama yang bisa dicocokkan dengan legenda romawi tentang keberadaan dewa-dewa. Dalam konteks ini, Frazer mirip dengan Taylor, yakni system pertama adalah magis yang kedua adalah agama. Pemahaman tentang magis dan agama serta hubungan yang terjadi antar keduanya merupakan kunci wasiat masuk ke dalam pemikiran masyarakat primitif. Menurut Frazer, dalam menanggapi kedua masalah penting menyangkut masyarakat primitif ini, kita harus memperhatikan fakta yang paling mendasar dari kehidupan manusia dulu kala, entah yang hidup di hutan Diana atau tempat lainnya, yang sama bertumpu pada perjuangan untuk tetap hidup. Lebih jauh dari pandangan Taylor tentang magis, Frazer menemukan suatu yang lebih sistematis, bahkan lebih ilmiah. Dia menunjukkan bahwa hubungan inti yang diciptakan oleh simpati tukang sihir, didasarkan pada dua tipe, pertama , imitatif, yaitu magis yang menghubungkan dua hal berdasarkan prinsip kesamaan, satu banding satu. Kedua, penularan/penyebaran yaitu magis yang menghubungkan dua hal berdasarkan prinsip keterikatan. Misal, seorang petani Rusia mengalirkan air pada satu sekat air di musim kemarau sambil membayangkan tetesan air pada sekat tersebut persis dengan tetesan hujan. Maka tetesan seperti itu akan memaksa hujan turun dari langit. Dalam contoh itu terlihat bagaimana mudahnya orang primitive di mana pun beranggapan bahwa prinsip-prinsip kerja alam selalu tetap, universal dan tidak bisa dilanggar, prinsi-prinsip ini menurut masyarakat primitif sama pastinya dengan cara kerja hukum ilmiah modern tentang sebab-akibat.
Jadi magis menurut Frazer, dibangun berdasarkan asumsi bahwa ketika satu ritual atau perbuatan dilakukan secara cepat, maka akibat yang akan dimunculkannya juga pasti juga terwujud seperti yang diharapkan. Frazer menekankan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan magis akan memiliki kekuatan sosial yang lebih intens. Menurutnya, kekuatan yang diberikan oleh magis kepada manusia dalam masyarakat primitif tidak bisa mengelabui pengelihatan kita, karena magis berhadapan dengan persoalan yang lebih mendasar lagi. Magis tidak akan bisa bergerak, karena seluruh kemampuan magis tukang sihir yang hebat hanyalah kebohongan belaka, yang nantinya kemagisan ini akan mengalami kemunduran, dan agama akan dating untuk menggantikan posisinya. Dalam agama tegas Frazer, mengklaim bahwa kekuatan nyata di balik alam semesta bukanlah prinsip, tapi kekuatan itu berbentuk pribadi – sesuatu yang supernatural dan itu disebut dengan nama tuhan. Baginya, kepercayaan terhadap supernatural dan usaha-usaha manusia untuk memperoleh pertolongannya dengan cara berdoa atau melakukan ritual lain, telah membebaskan pikiran manusia dari belenggu keyakinan magis dan membawanya pada keyakinan keagamaan. Jadi, agama sebenarnya memperbaiki magis yang mencirikan kemajuan intelektual manusia, karena penjelasan yang diberikan agama tentang dunia seperti yang kita alami lebih baik ketimbang yang diberikan magis. Kita harus menyadari bahwa magis menganggap hukum-hukum alam bersifat impersonal, baku dan universal – seandainya ritual minta hujan dilakukan dengan benar, maka hujan pasti akan turun. Oleh sebab itu, lanjut Frazer, magis telah digantikan oleh agama, maka era kepercayaan terhadap satu atau banyak tuhan pada zaman ini harus digantikan oleh era selanjutnya, yakni era pemikiran manusia, era ilmu pengetahuan yang dimiliki sekarang.
FREUD DAN AGAMA (lahir, Austria :1856)
 
“RELIGION WILL BE HUMAN NERVE DISEASE AT THE WORLD AND ONLY REFLECTION OEDIPUS KOMPLEKS CHILDHOOD PEACE” 
Freud adalah salah satu teoritikus yang mempunyai asumsi radikal terhadap agama. Di samping membahas tentang alam bawah sadar dan peristiwa raja Oedipal, Freud juga membahas subtansi agama dengan melihat pandangan-pandangannya yang dijabarkan melalui konsep Totem dan Tabo. Pandangan itu dikooperatifkan sedemikan rupa melalui pengalamannya menghadapi pasien neurotis, serta cerita gangguan mental pada masa kanak-kanak. Sebelum Freud membahas tentang agama, mesti dipahami terlebih dahulu bahwasannya jika ingin mencari cikal bakal keberadaan agama mesti menengok pada zaman pra- sejarah dan manusia-manusia generasi pertama setelah sejarah, sebagai moyang yang pertama. Berdasarkan premis-premis tersebut Freud kemudian beralih pada dua prilaku masyarakat primitif yang selalu menggelitik rasa ingin tahu masyarakat modern, karena keanehannya menggunakan binatang ‘Totem” dan adat “Tabu”.
Dalam kebiasaan Totem dan Tabu masyarakat primitif selalu mengasosiasikan diri mereka dengan binatang atau tumbuhan tertentu, yang diklaim sebagai objek sacral. Sedangkan kebiasaan kedua, seorang dalam komunitas suku akan dikatakan tabo, yaitu menyatakan sesuatu yang bersifat larangan. Tabu yang paling lama dipegang oleh masyarakat primitif adalah larangan tentang perkawinan sedarah. Sehingga orang harus melakukan perkawinan dengan suku klan lain, hal itu dikenal dengan sistem exsogamus. Selanjutnya adalah peristiwa Totemisme. Peristiwa ini menggambarkan eksistensi masyarakat primitif yang mereduksionis momen dalam eksploitasi binatang. Asumsinya bahwa tidak diperbolehkan berburu dan memakan binatang Totem kecuali pada saat upacara tertentu. Apabila peraturan ini dilanggar, maka memakannya juga merupakan sebuah Tabu. Kedua peristiwa ini menurut Freud merupakan alasan-alasan yang kurang mendasar, kecuali karena memang ingin melakukan perbuatan yang dilarang itu. Buktinya ini merupakan kesalahan immanent yang dilakukan oleh masyarakat primitif. Namun, mengapa kegiatan rasional seperti ini masih saja dilakukan oleh manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini Freud menggunakan konsep alam bawah sadarnya. Ia mengklaim bahwa pengalamannya dengan pasien neurotis memperlihatkan kepribadian manusia, baik yang normal maupun yang terganggu sama-sama ditandai oleh ambivalensi antara hasrat-hasrat yang lebih kuat. Contohnya saja orang yang mempunyai gangguan saraf pasti akan merasakan kesedihan yang mendalam terhadap pengalaman-pengalamannya, kehilangan orang yang dicintainya baik itu ayah, ibu, yang telah meninggal. Namun, berdasarkan pengalaman bawah sadar seperti yang dikemukanan Freud kita sering mendapati bahwa kesedihan tersebut bukan karena cinta melainkan sebuah refleksi emosi, dan rasa bersalah dalam dirinya, itu disebabkan oleh rasa emosi yang ada dalam dirinya. Karena pengaruh rasa bersalahnya maka masyarakat primitif akan melakukan ritual-ritual tertentu untuk mengungkapkan rasa bersalah kepada sang ayah. Peristiwa ini ditemukan dalam bentuk Oedipus Kompleks yang lebih mengacu pada hasrat seksual anak, pada akhirnya akan menimbulkan rasa cemburu kepada sang ayah. Pembunuhan sang ayah inilah dapat memberikan penyadaran bagi anak untuk melakukan pengorbanan yang menggunakan binatang Totem, katanya bisa digunakan sebagai simbol kematian pertama sang ayah. Kematian tersebut diklaim sebagai Tuhan dalam komunitas suku primitif.

Freud kembali menegaskan bahwa peristiwa Tabu dan Totemisme dalam bentuk Oedipus Kompleks, merupakan identifikasi pikiran sadar para klan yang mengganggap binatang Totem yang telah mati sebagai ayah mereka yang sudah mati dan dijadikan tuhan. Mereka mengaku anak mendiang ayah yang melakukan ritual pemujaan sebagai refleksi dari rasa bersalahnya. Tapi, cermat Freud jauh dari pikiran alam bawah sadar mereka melawan perasaan yang berlawanan, karena ritual seperti itu memberikan proyeksi tentang distorsi yang terdahulu yaitu pembunuhan dan kanibalisme. Semua kristalisasi tersebut dianggap menghilangkan rasa frustasi dan kebencian yang muncul atas penolakan hasrat Oedipal mereka.

Menjelang beberapa dekade Freud semakin menyadari panjangnya proses evolusi dari konsep Totem sampai kepada lahirnya agama dan kepercayaan terhadap Tuhan. Dari keberadaan binatang Totem yang dikatakan sebagai lambang kematian pertama sang ayah dalam Oedipus Kompleks, sampai konsep Tabu dalam budaya klan akan mengalami proses reduksionis. Semua itu akan berevolusi menjadi sebuah ritual dan persembahan kurban. Posisi binatang Totem akan digantikan oleh pihak yang lain, pertama oleh manusia yang menjadi roh manusia yang dituhankan, kemudian menjadi dewa-dewa dalam politheisme, kemudian menjadi refleksi keberadaan bapa Tuhan dalam agama Kristen. Walaupun ini hanya segelintir details ketuhanan, namun ini merupakan suatu jalan yang kontinu untuk bisa menguak keberadaan agama yang mempunyai hubungan dengan upacara-upacara dalam masyarakat pra-sejarah.

Pandangan Sigmund Freud sangatlah berbeda dengan Frazer. Freud lebih memarginalisasikan pandangannya terhadap emosi-emosi manusia, tak seperti Frazer yang lebih menitik berat pada kemajuan intelektual yang beranjak dari konsep magisnya. Freud berpendapat kalau kita ingin mengetahui tentang agama secara subtansial, tidak perlu melihat lebih jauh. Yang terpenting di sisni lebih fokus pada kongkretisasi kejadian suram klan dan ketegangan psikologis yang mendalam. Dalam artian agama itu serta merta muncul karena gangguan mental yang dialami oleh manusia. Secara lebih eksplisit Freud meradikalisasikan pandangannya bahwa agama tidak lebih dari penyakti “neurotis” masyarakat dunia. Terlepas dari pandangan tersebut Freud kini ingin mengkaji lebih dalam tentang keberadaan agama, melalui pandangannya tentang Oedipus Kompleks. Emosi-emosi manusia itu karena disebabkan oleh hasrat seksualnya, kecemburuan terhadap sang ayah yang mengakibatkan kematian pertamanya, itu dianggap sebagai awal merujuknya kata “Tuhan”. Setelah kejadian tersebut terjadi particular “penebusan dosa” yang dilakukan oleh sang anak, dengan dalih mengabulkan segala permintaan sang ayah dan berjanji akan selalu mengendalikan hasrat seksual mereka.

Kejadian-kejadian yang dialami masyarakat primitif tersebut memberikan kontribusi penuh terhadap keberadaan agama. Begitu juga agama yang memberikan sumbangan terhadap peradaban melalui Totem yang setidaknya memberikan penyadaran terhadap masyarakat primitif, untuk tidak dengan sembarangnya melakukan pembunuhan pada binatang Totem tersebut. Selanjutnya Freud berpendapat bahwa suara agama setidaknya memberikan pemikiran kebelakang yang mengingatkan manusia pada kejadian masa kanak-kanak. Dengan mengikuti pengalaman masa kanak-kanak agama memberikan proyeksi dunia eksternal tentang Tuhan. Menurutnya, kata yang paling cocok untuk memproyeksikan agama hanyalah dengan konsep ilusi dan delusi. Ilusi merupakan angan-angan yang dapat dicapai kelak, dengan menggunakan usaha-usaha tertentu. Berbeda dengan delusi yang merupakan suatu hayalan akan kenyataan namun tidak mungkin akan terjadi. Jadi, kepercayaan terhadap Tuhan bukanlah merupakan sebuah delusi, walaupun dia memandang pembicaraan tentang benar tidaknya doktrin agama, itu tidak termasuk cakupan penyelidikan Freud pada saat itu. Ia berasumsi karena kita sama-sama tahu bahwa agama adalah ilusi.

Oleh sebab itu doktrin agama bukanlah sebuah “wahyu” dari Tuhan, dan juga bukan konklusi yang didapatkan dari pengkajian ilmiah. Sebaliknya, ajaran agama merupakan sebuah pemikiran-pemikiran yang khas: sebuah upaya menginginkan suatu menjadi kenyataan. Ajaran agama dalama bahasa Freud adalah upaya pemenuhan “hasrat” terutama seksual yang paling kuat dan paling penting. Secara lebih eksplisit Freud mengemukakan agama dalam bahasa Oedipus Kompleks yaitu:
Agama merupakan obsesi gangguan mental manusia secara universal, sama seperti gangguan mental yang terjadi pada masa kanak-kanak. Agama muncul karena Oedipus kompleks, karena masalah yang terjadi pada ayah mereka. Jika anggapan ini memang benar maka diperkirakan bahwa meninggalnya agama niscaya akan membawa akibat fatal bagi pertumbuhan, dan kita mendapati diri kita dalam keadaan yang sangat kritis di tengah-tengah fase pertumbuhan.

Kalimat Freud menunjukkan bahwa agama adalah suatu pandangan pengalaman kanak-kanak yang belum sepenuhnya mengalami masa transisi menjadi manusia dewasa, semua indicator itu dipengaruhi oleh gangguan mental yang mengklaim dapat memberikan ketenangan atas peristiwa besar yang telah terjadi. Gangguan mental tersebut sangat bervariatif, bisa saja dipengaruhi oleh rasa emosi yang mengundang rasa bersalah seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya. Semua itu tidak lebih dari penyakit neurotis yang sudah di analisa oleh Freud, begitu juga tentang keberadaan agama yang tidak lebih dari sebuah gangguan variasi mental manusia. Semua kejadian yang dijabarkan sebelumnya diproyeksikan melalui konsep Totemisme binatang yang dijadikan pengganti kematian ayah dalam lukisan Oedipus Kompleks, serta adat Tabu yang menguak “larangan” tentang adanya suatu pernikahan maupun reduksi penggunaan persembahan kurban. Freud mengklaim bahwa agama juga memberikan sedikit kontribusi terhadap klan primitif melalui larangan akan terjadinya pembunuhan untuk kedua kalinya, yang berakhir pada tingkat kesadaran manusia akan kesalahan pada masa kanak-kanak. Sehingga kita bisa beragumen lanjut Freud, mungkin sudah tiba waktunya mengganti refresi agama dengan hasil yang dicapai oleh rasio dan intelektual seperti yang sudah telah mulai dianalisa psikologis. Pendeknya, karena peradaban manusia sudah mencapai fase dewasanya. Maka, sudah saatnya mengganti dan menyingkirkan kata “agama” dalam bentuk pemikiran yang khas tentang kedewasaan. Karena masyarakat yang “dewasa” hanya sudi dibimbing oleh rasio dan ilmu pengetahuan bukan pemikiran takhayul seperti yang ada pada zaman pra-sejarah masyarakat primitif. “Tuhan” tempat tempat manusia melantunkan alunan doa hanyalah merupakan khayalan semu dalam diri ke dunia eksternal, karena ingin menghilangkan gangguan neurotis atas rasa bersalah dan takut karena pengalaman-pengalaman suram. Hhhhmmmmm!!!!!!
Emile Durkheim(Epinal, 1858)
 
Agama dan Fakta Sosial
Selanjutnya akan dibahas bagaimana Durkheim mendesripsikan agama dari pandangannya tentang fakta sosial. Ia mengutamakan arti penting masyarakat – struktur, interaksi dan institusi sosial – dalam memahami pikiran dan prilaku manusia. Durkheim mengklaim, tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu, maka tak satupun muncul dalam kehidupan kita. Fakta sosial lebih jauh fundamental tinimbang fakta individu, bahwa fakta sosial sama nyatanya dengan fakta fisik, dan individu sering disalah pahami ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya dikesampingkan atau tidak diperhatikan dan diteliti. Bagaimanapun juga, menurut Durkheim, manusia bukan hanya individu an sich, tetapi selalu dimiliki oleh sesuatu yang lain, orang tua, sanak saudara, kota, suku, partai politik, tradisi etnis atau kelompok-kelompok lainnya. Dalam pandangannya adalah sia-sia belaka apabila kita menganggap mampu memahami apa sebenarnya individu itu, jika hanya dengan mempertimbangkan insting biologis, psikologi individu, atau kepentingan pribadi yang terisolasi. Kita harus menjelaskan individu melalui masyarakat dan menjelaskan masyarakat dalam hubungan sosial.
Durkheim menilai tentang sifat alami dari suatu komponen masyarakat, ia menjelaskan bahwa kehidupan sosial telah membentuk corak-corak yang paling mendasar dalam kebudayaan manusia. Ia menyatakan bahwa masyarakat tercipta pertama kali dari dua individu yang sepakat untuk bekerja sama, hal ini dinamakan kontrak sosial. Ada salah satu contoh kontrak social dalam masyarakat purba yakni, masyarakat purba selalu terikat dengan sumpah-sumpah sacral keagamaan yang memperlihatkan bahwa setiap kesepakatan yang terbentuk antara mereka buka hanya ikatan antara dua belah pihak, tetapi melibatkan campur tangan dewa di dalamnya, sebab yang akan merasakan akibat dari kesepakatan tersebut adalah seluruh anggota masyarakat. Lanjut Durkheim, fakta sejarah mamperlihatkan sebaliknya. Sistem kepemilikan yang pertama kali muncul bukanlah bersifat pribadi, melainkan komunal dan berlandaskan sesuatu yang sacral, bahwa masyarakat menganggap semua kepemilikan itu tidak dikuasai oleh para pendeta, atau orang secara pribadi melainkan suku secara keseluruhan. Di lain pihak bagi masyarakat modern, “solidaritas mekanik” mengalami perubahan bentuk, karena dalam masyarakat modern terdapat pembagian kerja, lain orang lain pula pekerjaanya. Menurut Durkheim, masyarakat purba juga memiliki “kesadaran kolektif” yang kuat dan luas; di dalam kesadaran ini terdapat suatu kata sepakat tentang ketentuan yang benar dan salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sebaliknya, dalam masyarakat modern, yang menentukannya adalah moralitas-individualisme.mereka tetap membutuhkan sebuah landasan, basis moral bagi seluruh masyarakat, namun karena kebebasan dan perbedaan individu lebih diutamakan, maka cakupan “kesadaran kolektif” lebih kecil disbanding masyarakat purba.
Kenyataan terakhir ini sangat penting, karena Durkheim meyakini bahwa moralitas yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dan menjadi patokan bagi seluruh anggota kelompok tidak bisa dipisahkan dari agama. Kita tidak akan bisa memahami keduanya tanpa memperhatikan konteks social, sehingga setiap kali konteks tersebut berubah, maka agama dan moralitas pun akan berubah. Dalam konteks agama menurut Durkheim, agama adalah suatu system kepercayaan dengan prilaku-prilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sacral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Agama merupakan suatu yang bersifat social, kata kuncinya adalah “komunitas dan “tempat suci”. Agama hanyalah pemersatu nilai-nilai kolektif masyarakat, bagitu juga sebaliknya agama terbangun atas fakta-fakta sosial. Keduanya saling berkaitan, dan merupakan sesuatu yang utuh.

No comments:

Post a Comment